DARFUR (SuaraMedia News) - Presiden Sudan Omar al-Beshir mengatakan kesepakatan gencatan senjata yang akan ditandatangani di Qatar pada hari Selasa oleh Khartoum dan kelompok pemberontak utama menandai "awal dari akhir" konflik di Darfur. Perjanjian dengan pemberontak Gerakan Keadilan dan Kesetaraan "menandai awal dari akhir perang di Darfur," kata Presiden dalam sebuah pertemuan di Doha Senin malam.
Dia berada di ibukota Qatar untuk upacara penandatanganan kesepakatan bersama dengan Presiden Chad Idriss Déby Itno dan emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani.
Sebuah kerangka kesepakatan sudah ditandatangani pada hari Sabtu.
Kesepakatan itu adalah "langkah pertama untuk mengakhiri krisis di Darfur," kata Beshir, berharap untuk "perdamaian yang komprehensif" di wilayah bermasalah Sudan barat sebelum pemilihan presiden dan legislatif pada bulan April.
Tahun ini akan "menandai Sudan yang baru, stabil dan damai, Sudan yang bersatu, oleh kehendak orang-orangnya," katanya.
Kelompok pemberontak lainnya seperti faksi garis keras dari Tentara Pembebasan Sudan yang dipimpin oleh Nur Abdelwahid berada di pengasingan di Perancis sejauh ini menolak untuk memasuki pembicaraan dengan pemerintah Khartoum.
Konflik di Darfur meletus pada Februari 2003, ketika pemberontak mengangkat senjata melawan pemerintah di Khartoum dan sekutu-sekutunya.
Selama enam tahun terakhir, para pemberontak telah pecah menjadi beberapa gerakan, kelompok pemberontak berjumbai, kebanditan, milisi dan perang telah melebar menjadi konflik kesukuan yang saling tumpang tindih.
PBB mengatakan hingga 300.000 orang tewas dari dampak gabungan perang, kelaparan dan penyakit dan lebih dari 2,7 juta meninggalkan rumah mereka. Sudan menempatkan total kematian sekitar 10.000 orang.
Banyak dari para pemberontak secara langsung dan tidak langsung menikmati dukungan asing yang membantu memicu konflik, dengan beberapa kritikus menunjuk jari ke Perancis, yang memiliki kehadiran militer di negara tetangga Chad – dan juga menuduh mempersenjatai pemberontak Sudan
Pada tahun 2009, Jenderal Martin Agwai , yang memimpin gabungan pasukan penjaga perdamaian PBB dan Uni Afrika yang dikenal sebagai UNAMID, mengatakan, kawasan itu sekarang lebih menderita dari "masalah keamanan" daripada konflik utuh.
"Kebanditan, masalah-masalah setempat, orang yang mencoba untuk menyelesaikan masalah-masalah atas air dan tanah di tingkat lokal. Tapi perang nyata seperti itu, saya kira kita akan lebih dari itu," katanya.
Analis Sudan, Gill Lusk, mengatakan, "Telah ada penurunan yang besar dalam pertempuran di Darfur, dan yang pasti hal yang baik bagi masyarakat," katanya kepada BBC.
Seorang pekerja bantuan di Sudan juga mempertanyakan pernyataan Jenderal Agwai.
"Jika itu benar, mengapa beberapa bagian Darfur tetap di luar batas, bahkan untuk UNAMID?" ia bertanya.
Jend. Agwai menegaskan masalah sebenarnya sekarang adalah masalah politis.
Wartawan BBC James Copnall Sudan mengatakan bahwa pandangan ini dianut oleh banyak orang di Sudan.
Meskipun intensitas kekerasan telah berkurang, masih ada sedikit prospek kesepakatan damai.
Utusan AS untuk Sudan Gration Scott mengatakan keberadaan dari 26 faksi-faksi pemberontak yang berbeda merupakan kendala utama untuk mencapai kesepakatan damai dengan pemerintah.
Dia menengahi pembicaraan yang mengarah pada empat kelompok yang setuju untuk bekerja sama, menyebut kesepakatan itu "sangat kokoh bagi persatuan pemberontak". (iw/meo/bbc) www.suaramedia.com
Rabu, 24 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar